Pada proses mengajukan gugatan ke pengadilan seseorang mengharapkan gugatannya dikabulkan. Oleh karena itu ia berkepentingan pula bahwa sekiranya gugatannya dikabulkan atau ia menangkan dan kemenangannya itu dapat direalisasikan atau terjamin haknya atau dapat di jamin bahwa putusannya dapat dilaksanakan.
Dalam arti putusan harus menguntungkan. Untuk kepentingan penggugat agar terjamin haknya sekiranya gugatannya di kabulkan nanti, undang-undang menyediakan upaya penjaminan hak tersebut dikenal dengan istilah penyitaan.
Supaya penggugat tidak berharap “hanya mimpi” dikemudian hari.
Penyitaan adalah suatu tindakan pengambilan hak seseorang atau suatu pihak tertentu atas barang-barang tertentu yang dilakukan oleh pihak pengadilan berdasarkan putusan hakim yang umumnya terjadi karena sebab tertentu.
Untuk menjamin hak-hak pencari keadilan agar keadilan dan perlindungan hukum yang diperolehnya menjadi kenyataan bukan merupakan keputusan yang hampa karena tidak daat dieksekusikan akibat dari tindakan pihak lawan yang telah memindahkan atau merusak barang-barang sengketa atau barang-barang yang dijadikan jaminan dalam perkara. Maka hukum memberi jalan dengan memberi hak baginya untuk mengajukan permohonan sita terhadap barang-barang sengketa atau yang dijadikan jaminan.
Penyitaan ini merupakan tindakan persiapan untuk menjamin dapat dilaksanakannya putusan perdata nantinya. Barang-barang yang disita untuk kepentingan penggugat dibekukan, ini berarti bahwa barang-barang itu disimpan untuk jaminan dan tidak boleh di jual dan dihilangkan dan yang lebih berkenaan dengan pengajuan gugatan tersebut adalah sita jaminan.
Dari sita jaminan ini ada beberapa macam diantaranya adalah sita harta perkawinan
Atau Sita Harta Gono Gini atau sering disebut Sita Marital.
Sita marital bukanlah untuk menjamin suatu tagihan uang atau penyerahan barang melainkan penjaminan bagi seorang penggugat terhadap tergugat supaya harta bersama perkawinan yang ada tidak dialihakan baik dengan cara di jual, digadaikan, ataupun dihilangkan, sehingga dengan demikian tindakan-tindakan tergugat akan terhalangi karena mengalihkan barang-barang yang disita adalah tidak sah dan merupakan perbuatan pidana.
Pengertian Sita Marital
Menurut Ny. Retno Wulan Sutantio, Sita Marital adalah : Sita yang di mohonkan oleh pihak istri terhadap barang-barang suami, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, sebagai jaminan untuk memperoleh bagiannya sehubungan dengan gugatan perceraian, agar supaya selama proses berlangsung barang-barang tersebut jangan dihilangkan oleh suami .
Sita marital bukanlah untuk menjamin suatu tagihan uang atau penyerahan barang, melainkan menjamin agar barang yang disita tidak dijual. Jadi fungsinya adalah untuk melindungi hak pemohon selama pemeriksaan sengketa perceraian dipengadilan berlangsung antara pemohon dan lawannya, dengan menyimpan atau membekukan barang-barang yang disita, agar jangan sampai jatuh ditangan pihak ketiga.
Tujuan Sita Marital sudah jelas.untuk menjamin agar harta perkawinan tetap utuh dan terpelihara sampai perkara mendapat putusan yang berkekuatan hukum tetap.Apalagi jika selama proses pemeriksaan perkara telah terjadi pemisahan tempat tinggal atas izin hakim, maka semakin besar kemungkinan terancam keutuhan dan pemeliharaan atas harta perkawinan. Misalnya, atas persetujuan hakim istri sudah terpisah tempat tinggalnya selama pemeriksaan perkara berlangsung dan harta perkawinan semuanya di kuasai suami. Hal ini seolah-olah memberi kesempatan kepada suami untuk menjual atau mengelapkan sebagian harta perkawinan. Sebagai upaya menjamin untuk keselamatan, keutuhan harta perkawinan (harta bersama) undang-undang memberi hak kepada isrti untuk mengajukan permohonan Sita Marital
Kontroversi Sita Marital
Mahkamah Agung R.I dalam pandangan dan pendapatnya atas beberapa masalah teknis peradilan mengemukakan bahwa bahwa penggunaan istilah Sita Marital sedikit banyak mengandung kerancuan dan kontroversi dengan ketentuan pasal 31 undang-undang Nomor 1/1974. Pasal ini telah meletakan landasan filosofis terhadap hak dan kedudukan suami dan istri adalah sama dan seimbang dalam rumah tangga yaitu suami berkedudukan sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga, masing-masing pihak berhak melakukan tindakan hukum.
Pandangan ini sangat berbeda dengan apa yang digariskan dalam pasal 105 B.W., yang menetapkan kedudukan suami sebagai kepala dalam persatuan suami istri dan suami harus mengemudikan urusan harta kekayaan milik istri, setiap istri harus patuh kepada suami, suami boleh menjual harta bersama tersebut tanpa campur tangan pihak istri. Menurut Abdul manan pernyataan terhadap Sita Marital dalam kerangka undang-undang adalah nomor 1/1974 adalah kurang etis. Adapun istilah yang dianggap kurang pas dan cocok dengan pandangan filosofis undang-undang nomor 1/1974 adalah sita harta bersama dan ini sesuai dengan legal term sebagaimana tersebut dalam pasal 35 undang-undang nomor 1/1974 tersebut. Oleh karena itu penggunaan sita harta bersama perlu dibakukan menjadi agar menjadi law standard.
Suami seorang pemboros dan pemabuk atau penjudi. Namun demi kepentingan kejiwaan anak-anak istri tetap mencoba untuk mempertahankan keutuhan keluarga, dan tidak bermaksud memecah perkawinan dengan jalan perceraian.Dalam peristiwa yang demikian, apakah tidak layak memberi hak kepada istri memperlindungi harta harta kekayaan perkawinan dengan jalan mengajukan pemisahan harta tersebut ke pengadilan ?
Kalau menurut pasal 186 KUHPerdata, istri di perkenankan hukum untuk mengajukan pemisahan harta. Akan tetapi hal ini tidak di atur dalam UU No.1/1974 maupun dalam PP No.9/1975. Sehingga timbul anggapan, Sita Marital maupun pemisahan harta perkawinan merupakan upaya hukum yang bisa di pergunakan serentak dan sesudah keputusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap.
Alasan Sita Marital
Pada dasarnya Sita Marital sama dan serupa dengan sita jaminan (conservatoir beslag).Dia merupakan pengkhususan yang hanya dapat berfungsi terhadap jenis perkara sengketa perceraian malahan kalau berorientasi kepada ketentuan pasal 215 KUHperdata, Sita Marital adalah perwujudan sita jaminan. Mari kita baca kalimat terakhir dari pasal 215 ayat 1 KUHperdata tersebut ;tak mengurangi keleluasaan istri untuk mengamankan haknya dengan mempergunakan upaya-upaya seperti yang telah di atur dalam ketentuan hukum acara perdata.
Jika hal ini kita kaitkan dengan salah satu upaya yang dapat mengamankan dan menyelamatkan hak seorang istri atas harta kekayaan perkawinan selama proses perkara masih berlangsung ialah conservatoir beslag.Upaya ini yang di stukturkan dalam hukum acara perdata yang berfungsi menyelamatkan gugatan atas pihak yang berkepentingan dari kemungkinan illusoir.
Bagaimana masalah Sita Marital dalam undang-undang perkawinan No.1/1974. Apakah di mungkinkan meletakan sita tehadap harta perkawinan?
Ada disinggung dalam pasal 24 ayat 2 huruf c PP No.9/1975. Walaupun rumusannya tidak begitu tegas, namun isi yang terkandung di dalamnya merupakan isyarat adanya hak bagi istri atau suami untuk mengajukan permintan sita terhadap harta perkawinan selama proses perkara perceraian berlangsung.Agar lebih jelas mari kita baca ketentuan pasal 24 ayat 2 huruf c PP no.9/1975 tersebut :
”Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat pengadilan dapat menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi hak istri”.
Seperti yang di singgung di atas rumusan pasal ini memang kurang jelas mengarah kepada upaya tindakan penyitaan harta perkawinan. Akan tetapi dengan memperlihatkan kalimat : Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang, pada hakikatnya sudah tersirat makna tindakan atau upaya penyitaan terhadap harta perkawinan.dan tindakan yang di anggap dapat menjamin harta perkawinan selama proses perkara perceraian berlangsung adalah sita jaminan (conservatoir beslag) yang di sebut Sita Marital.
Dengan demikian maksud yang terkandung dalam pasal 24 ayat 2 huruf c :
- memberi hak kepada suami istri untuk mengajukan Sita Marital atas harta perkawinan selama proses perkara perceraian berlangsung,dan
- Pengadilan berwenang untuk mengabulkan Sita Marital agar terjamin pemeliharaan dan keutuhan harta perkawinan selama proses perkara perceraian masih berlangsung.
Ada sesuatu hal yang di anggap terlampau sempit dalam peraturan pasal 24 ayat 2 huruf c PP No.9/1975.Menurut pasal ini, pengajuan permintaan pengajuan Sita Marital ke pengadilan hanya terbatas jika ada perkara perceraian.seolah-olah tanpa adanya sengketa perceraian;tidak di mungkinkan mengajukan Sita Marital.ada dulu gugatan perceraian baru di ajukan Sita Marital.Hal ini secara tegas di sebut dalam pasal 24 ayat 2 huruf c dalam kalimat : ”selama berlangsungnya gugatan perceraian”.secara a contrario, kalau tidak ada gugatan perceraian, istri tidak dapat mengajukan permintaan Sita Marital.
Mungkin hal ini agak berbeda dengan apa yang diatur pada KUHperdata.Berdasarkan pasal 186 KUHPerdata, bisa saja istri mengajukan permintaan Sita Marital kepada pengadilan apabila istri mengajukan tuntutan pemisahan harta kekayan (harta perkawinan ). KUHPerdata memperkenankan permintaan Sita Marital di luar gugatan perceraian. Dapat di ajukan permintaan Sita Marital berdasar gugatan pemisahan harta perkawinan. Dari ketentuan pasal 186 KUHPerdata tesebut memberi hak kepada istri untuk :
- mengajukan Sita Marital di luar gugatan perceraian.
- Mengajukan permintaan pemisahan harta kekayaan dalam perkawinan yang masih utuh :
• apabila kelakuan suami secara nyata memboroskan harta kekayaan keluarga yang biosa mendatangkan malapetaka kehancuran rumah tangga,atau
• Apabila cara pengurusan suami atas harta kekayaan tidak tertib,sehingga tidak terjamin keselamatan dan keutuhan harta kekayaan bersama.
Ketentuan yang seperti diatur dalam pasal 186 KUHPerdata, nampaknya tidak ada di jumpai dalam UU no.1/1974 maupun dalam PP 9/1975.padahal aturan seperti ini sangat penting, guna melindungi hak istri terhadap harta bersama pada satu sisi, dan memperlindungi keutuhan harta perkawinan pada segi kelalaian pembuat undang-undang mengatur hal yang demikian,merupakan hambatan bagi seorang istri membela haknya terhadap suami yang boros dan berkelakuan tidak baik.karena hak untuk mngajukan Sita Marital hanya di perkenankan apabila ada sengketa perceraian.
Bahkan lebih tragis lagi jika di telaah ketentuan mengenai pemisahan harta perkawinan. Sebab menurut undang-undang dan praktek pengadilan, pengajuan gugatan pemisahan atau pembagian harta perkawinan, baru dapat di ajukan setelah putusan percerian memperoleh kekuatan hukum tetap. Seolah-olah selama perkawinan masih berjalan, tidak di mungkinkan mengajukan pemisahan harta perkawinan.Padahal dilihat dari segi kepentingan istri atau suami, adalah layak memberi hak mengajukan pemisahan harta perkawinan dalam suatu perkawinan masih utuh, apabila secara nyata suami atau istri suka menghamburkan harta kekayaan bersama.
Kami berpendapat bahwa anggapan yang seperti itu adalah keliru dan terlampau sempit. Sekalipun UU No.1/1974 dan PP 9/1975 tidak mengaturnya, bukan berarti di larang mengajukan Sita Marital dan pemeriksaan harta perkawinan di luar perceraian apabila secara nyata dan salah satu pihak bertindak boros dan tidak tertib mengurus harta kekayaan bersama. Pengadilan dapat mempedomani ketentuan pasal 186 KUHPerdata sebagai aturan hukum pemisahan harta perkawinan di luar perceraian. Cukup alasan untuk membenarkan praktek hukum yang demikian. Berapa banyak keluarga dan pendidikan anak terlantar, akibat tindakan boros yang di lakukan suami atau istri. Kemalangan dan kesengsaraan yang demikian masih mungkin dapat di hindari dengan jalan pemisahan harta perkaswinan. Karena dengan di pisahnya harta perkawinan dapat berfungsi sebagai katup penyelamat menjamin terhindarnya keludesan harta perkawinan dari tindakan suami yang boros dan penjudi .
Landasan Hukum Sita Marital
Sita marital ini mempunyai sumber hukum formil yaitu pasal 215 KUHPerdata undang-undang no.1/1974 jo.PP No.9/1975 pasal 24 (2) huruf c :
a. Bunyi pasal 215 KUHPerdata :
“Selama perkara berjalan, hak-hak si suami mengenai pengurusan harta kekayaan istrinya tidak terhenti, hal mana tak mengurangi keleluasaan si istri untuk mengamankan haknya, dengan menggunakan upaya-upaya seperti teratur dalam ketentuan-ketentuan reglemen Hukum Acara Perdata.
b. Undang-undang no.1 tahun 1974/PP No.9/1975 pasal 24 ayat 2 huruf c :
”Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat pengadilan dapat menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi hak istri ”
Dan hukum materil yaitu pasal 823-823j R.V sebagai berikut :
Pasal 823
Tindakan-tindakan yang boleh di lakukan sehubungan dengan pasal 190 KUHPerdata adalah penyegelan, pencatatan harta kekayaan dan penilaian barang-barang bergerak bersama atau kepunyaan istri, dan penyitaan jaminan atas barang-barang tetap bersama, sesuai ketentuan dari sepuluh pasal berikut.
Pasal 823a
Izin untuk mengambil satu atau lebih tindakan ini dapat diminta kepada raad van justitie pada saat atau sesudah mengajukan surat permohonan seperti yang dimaksud dalam pasal 820. Ketua raad van justitie memberi izin itu, jika ia menganggap perlu, dapat memanggil si suami.
Pasal 823b
Terhadap penyitaan atas barang-barang bergerak bersama atau atas barang-barang bergerak dari istri berlaku kalimat kedua alinea kesatu dan ketiga pasal 444, pasal 447,448, 448a, 448b, 451, 452, alinea kesatu pasal 454, 456, 457, 458, dan 726 ayat (1).
Ketentuan dalam alinea pasal 448 berlaku dalam pengertian bahwa nilai barang yang disita menggantikan jumlah dari tuntutan, untuk mana sita diletakan.
Sebagai penyimpan-penyimpan dari barang itu tidak boleh diangkat pihak yang meletakan sita, juga anak-anak atau cucu-cucu dari suami istri atau salah satu, kecuali dengan persetujuan tegas dari pihak yang terkena sita.
Pasal 823c
Dalam sita tidak termasuk barang-barang bergerak yang oleh pihak terkena sita ditunjuk sebagai tidak termasuk dalam barang-barang bernama atau atau bukan kepunyaan si istri, semuanya, kecuali yang menjadi hak masing-masing, dapat diserahkan pada keputusan dari hakim berdasarkan pasal 823d maupun berdasarkan penerapan alinea terakhir dari pasal 823e.
Pasal 823d
Seseorang yang menerangkan pemilik dari barang-barang yang disita atau sebagian daripadanya, dapat mengajukan keberatan terhadap penyitaan itu dengan cara seperti yang dimaksud dalam pasal 460 ayat (1).
Pasal 823e
Keputusan hakim yang memuat penolakan terhadap tuntutan akan pemisahan memerintahkan juga pengangkatan penyitaan. Pada pengabulan terhadap pemisahan, sita berakhir dengan pembagian sungguh-sungguh dari barang-barang bersama atau dengan pemberian pada istri barang-barangnya.
Pasal 823f
Terhadap sita atau barang-barang tetap bersama berlaku ketentuan dalam alinea kesatu pasal 763b, pasal 726 berlaku juga pada sita ini.
Pasal 823h
Pengangkatan sita atas barang-barang bergerak atau tidak bergerak tetap, baik seluruhnya maupun sebagian, diperintahkan oleh hakim yang memeriksa atau seharusnya memeiksa tuntutan akan pemisahan dengan jaminan yang cukup atas permohonan si suami. Izin untuk menjual atau menjaminkan barang-barang yang disita dapat diberikan oleh hakim yang sama dengan syarat-syarat sedemikian yang di pandang perlu olehnya untuk mencegah agar kepentingan istri tidak dirugikan karenanya.
Dalam kedua hal si istri agar terlebih dahulu atau harus ternyata bahwa ia telah di panggil dengan cukup untuk keperluan itu. Jika tempat tinggalnya jauh, pemanggilan terhadap si istri dapat diperintahkan kepada resiedentierechter
Pasal 823i
Sita yang diperintahkan atas keputusan hakim atas barang-barang bergerak atau barang-barang tetap menghalang-halangi penyitaan dan pemanfaatannya oleh pihak-pihak ketiga karena utang-utang yang terjadi sebelum dilakukan penyitaan.
Sisa dari hasil pemanfaatan itu setelah diambil oleh pihak-pihak ketiga dititipkan di pengadilan untuk pihak-pihak yang berkepentingan
Pasal 823j
Sita yang diperintahkan atas keputusan hakim mengenai barang-barang bergerak atau tidak bergerak atau barang-barang tetap tidak menghalangi si suami untuk memanfaatkan penghasilannya dengan tidak mengurangi kewajiban terhadap si istri menurut perundang-undangan atau karena perjanjian perkawinannya.
Perbedaan Sita Marital dengan sita yang lainnya
Perbedaannya dapat dilihat berdasarkan ciri ciri dari sita yang lain:
1.Conservatoir Beslag 2.Revindicatoir Beslag 3.Executoir
Beslag 4.Marital Beslag
1. Sita jaminan (Conservatoir beslag) diletakan atas harta yang disengketakan status kepemilikannya atau terhadap kekayaan tergugat dalam sengketa utang piutang atau juga dalam sengketa tuntutan ganti rugi.
- Objek Sita jaminan itu biasa meliputi barang yang bergerak atau barag yang tidak bergerak, dapat juga dilaksanakan terhadap yang berwujud dan tidak berwujud.
- Pembatasan sita jaminan biasa hanya pada barang-barang tertentu jika gugatan didalilkan berdasarkan sengketa hak milik atas barang tertentu atau biasa meliputi seluruh harta harta kekayaan tergugat sampai mencakup jumlah seluruh tagihan apabila gugatan berdasarkan atas utang piutang atau tuntutan ganti rugi.
- Tujuan sita jaminan bertujuan untuk menjamin gugatan penggugat tidak ilussoir pada saat putusan.
2. Sita revindikasi (Revindicatoir Beslag) dilaksanakan atas permintaan penggugat terhadap barang milik penggugat yang saat ini dikuasai oleh tergugat.
- Penyitaan tersebut dilaksanakan atas benda yang dikuasai oleh tergugat secara tidak sah atau melawan hukum atau juga tergugat tidak berhak atasnya.
- Objek sita revindikasi ini hanya terbatas pada benda bergerak saja
3. Sita eksekusi dilaksanakan setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap dan sebelumnya tidak dilaksanakan sita terhadap barang-barang yang disengketakan
- Tujuan sita eksekusi adalah untuk memenuhi pelaksanaan putusan pengadilan agama dan berakhir tindakan pelelangan.
- Hanya terjadi dalam hal-hal berkenaan dengan pembayaran sejumlah uang dan ganti rugi
- Kewenangan memerintah sita eksekusi sepenuhnya berada ditangan Ketua Pengadilan Agama bukan atas perintah Ketua Majlis Hakim.
- Dapat dilaksanakan secara berulang-ulang sampai pembayaran atau pelunasan sejumlah uang dan ganti rugi terpenuhi.
Sita Marital dapat dipindah tangankan / dijual belikan
Seperti yang sudah di terangkan, pasal 197 HIR atau pasal 214 RBG melarang untuk memindahkan atau membebani barang sitaan. Tehitung sejak tanggal pengumuman (pendaftaran) berita acara sita, undang-undang melarang penjualan, penghibahan atau menukarkan maupun untuk menyewakan barang sitaan.
Sekarang timbul masalah. Terhadap harta bersama telah diletakan Sita Marital. Misalkan, selama proses pemeriksaan perkara perceraian, pengadilan telah menetapkan izin pemeliharaan anak-anak diberikan kepada istri. Pada suatu hari, salah seorang anak menderita sakit, dan harus di operasi. Setelah istri memberitahukan hal itu kepada pihak suami, ternyata suami tidak mempunyai uang yang cukup untuk menanggulangi biaya operasi tersebut. Satu-satunya jalan, ialah dengan jalan menjual sebagian harta bersama. Berarti penjualannya terbentur pada ketentuan pasal 199 HIR atau pasal 214 RBG di maksud?. Cara dan upaya menerobos larangan penjualan barang sitaan dalam kasus Sita Marital dapat ditempuh dengan jalan :
- mengajukan permohonan izin kepada pengadilan (hakim),
- dan pengadilan (hakim) dapat memberi izin penjualan apabila permohonan itu mempunyai alasan yang kuat dan mendesak.
Begitu cara mencairkan larangan tersebut. Mengajukan permohonan izin kepada pengadilan. Jika pewngadilan memperkenankan, pengadilan mengeluarkan pnetapan izin penjualan. Untuk itu pengadilan mengeluarkan penetapan izin penjualan. Untuk itu pemberian izin tersebut sesuai dengan alasan yang diajukan pemohon. Penilaian hakim dalam memberikan izin penjualan yang demikian, didasarkan atas pertimbangan kepatutan, kemanusiaan dan kepentingan yang sangat mendesak. Mengenai bentuk permohonan izin, bersifat voluntair. Bukan bersifat contentiosa atau bersifat partai. Pemohon tidak mesti menempuh acara yang bersifat sengketa. Cukup dengan permohonan izin penjualan secara sepihak. Hal ini tidak perlu diingatkan agar pengadilan tidak mempersulit proses beracara yang diperlukan untuk memeriksa permohonan izin yang seperti itu Apakah sudah tepat acara yang di pergunakan untuk permohonan izin penjualan barang yang berada dibawah Sita Marital secara voluntair? Bukankah menurut tata tertib beracara, setiap permohonan voluntair harus didasarkan atas ketentuan undang-undang atau peraturan? Memang benar demikian! Setiap permohonan voluntair harus ada landasan aturan perundang-undangannya. Dalam hal ini landasan perundang-undangannya bersumber dari ketentuan pasal 24 ayat 2 huruf b. yakni dengan jalan menafsirkan ketentuan pasal 24 ayat 2 huruf b secara sistematik dan secara fungsional atau realistik dengan ayat 2 huruf a dan huruf c. Dengan demikian, makna kalimat yang dirumuskan dalam ayat 2 huruf b (menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak) harus ditafsirkan secara luas, meliputi kewenagan hakim untuk memberi izin penjualan harta bersama yang berada di bawah Sita Marital, apabila untuk tindakan penjualan itu benar-benar cukup alasan
Jadi, penyitaan adalah suatu tindakan (dari Pengadilan baik itu Pengadilan Negeri ataupun Pengadilan Agama) dengan maksud pengambilan hak seseorang atau suatu pihak tertentu atas barang-barang tertentu yang dilakukan oleh pihak pengadilan berdasarkan putusan hakim yang umumnya terjadi karena sebab tertentu.
Penyitaan ini merupakan tindakan persiapan untuk menjamin dapat dilaksanakannya putusan perdata. Barang-barang yang disita untuk kepentingan penggugat dibekukan, ini berarti bahwa barang-barang itu disimpan untuk jaminan dan tidak boleh di jual dan dihilangkan dan yang lebih berkenaan dengan pengajuan gugatan tersebut adalah sita jaminan. Dari sita jaminan ini ada beberapa macam diantaranya adalah sita harta perkawinan atau Sita Marital.
Sita marital bukanlah untuk menjamin suatu tagihan uang atau penyerahan barang, melainkan menjamin agar barang yang disita tidak dijual. Jadi fungsinya adalah untuk melindungi hak pemohon selama pemeriksaan sengketa perceraian dipengadilan berlangsung antara pemohon dan lawannya, dengan menyimpan atau membekukan barang-barang yang disita, agar jangan sampai jatuh ditangan pihak ketiga.
Sita marital ini mempunyai sumber hukum formil yaitu pasal 215 KUHPerdata dan UU no.1/1974 jo.PP No.9/1975 pasal 24 (2) huruf c.namun terdapat kontrovesi tentang kedua sumber hokum formil ini, namun pada akhirnya segala ketentuan di acukan kepada KUHPerdata karena adapun undang-undang yang setelahnya hanya mempertegas dari sita Sita Marital ini.
Adapun perbadaan dari sita Sita Marital dengan sita-sita yang lainnya adalah pada jenis perkara yaitu, Sita Marital terjadi pada pengurusan harta bersama dalam perkara perceraian selain itu Sita Marital tidak di gunakan misal Perkara Gugatan Perbuatan Melawan Hukum.
Warm regards,
Adv Antonio Sri Hendarianto SP, SH
Advokat & Kurator pada Kantor Hukum "Hendarianto & Associates"
email : togahitam@gmail.com
Hp : 0818 217 857
Selamat pagi pak,
BalasHapusSaya ingin bertanya bagaimana jika yang diletakkan sita marital hanya harta yang dikuasai salah satu pihak saja. Padahal terkait sita harta perkawinan bukankah harus seluruh harta yang diperoleh selama perkawinan masih berlangsung baik yang dkuasai oleh Si suami maupun si Istri. Dan dalam perkara a quo, MAjelis hakim memberikan putusan sela terkait sita marital namun hanya terhadap harta yang dikuasai si istri saja sedangkan harta-harta yang dikuasai oleh si suami tidak diletakan sita, padahal kami selaku pihak Tergugat sudah mengajukan permintaan baik dalam jawaban dan duplik terkait harta yang dikuasai oleh Penggugat untuk dicantumkan sebagai harta bersama karena perolehannya selama perkawinan masih berlangsung. Bisakah? Apakah ada dasar hukumya? Terima kasih.